http://edukasi.kompasiana.com
Apa sebenarnya yang memotivasi anak-anak saya hingga begitu berminat menjadi anggota keluarga besar Ponpes Modern Darussalam Gontor. Secara pribadi, melepas anak hidup mandiri (berdikari) di pondok pesantren merupakan ujian paling berat yang harus saya rasakan. Anda yang sudah berkeluarga tentu sependapat dengan saya bahwa anak adalah permata yang tak akan bisa ditukar dengan kemilau harta. Seberapa pun itu banyaknya.
Dan kali ini saya
dihadapkan pada sebuah dilema. Harus berpisah dengan dua anak sekaligus
untuk rentang waktu berkisar antara 5 sampai dengan 7 tahun, sekalipun
di akhir pekan masih memungkinkan untuk menemui mereka. Gontor masih
bisa ditempuh dalam waktu kurang sehari saja dari Surabaya.
Saya bayangkan seandainya
mereka telah menyelesaikan pendidikan di Gontor kemudian menuntut ilmu
di luar kota atau di luar negeri, berarti, hanya 12 dan 15 tahun saja
saya dan istri menikmati kebersamaan dengan mereka. Rasa kehilangan
masih membekas di hati saya bersama istri hingga hari ini.
Kekuatan tekad dalam jiwa
kedua anak itu akhirnya membuat saya dan istri luluh lalu menepis rasa
tega dalam sanubari. Kami pun kemudian berangkat menuju Pondok Modern
Darussalam Gontor. Rabu 23/5 pagi, kami bertolak dari Surabaya dengan
sebuah kendaraan pinjaman. Setelah menempuh perjalanan selama empat jam,
kami pun tiba di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi,
tempat Pondok Modern Gontor Putri 2 berada.
Proses pembekalan kami
terima dari pimpinan pondok yang menekankan tentang kesederhanaan dan
tuntutan kemandirian yang akan diterima oleh para santri (pelajar). Ya, saya
perhatikan mereka makan dengan menu yang sederhana. Sangat bertolak
belakang dengan pesanan yang sering saya terima dari anak-anak saya.
Mereka sepertinya sudah terbiasa dengan aneka fast food, produk
budaya negeri Paman Obama. Namun saya menyadari, justru sajian
sederhana itulah yang telah menghantar lahirnya beberapa nama besar
sekelas Idham Chalid, Dien Syamsudien, Nurcholis Majjid, Hidayat Nur
Wahid serta nama-nama besar lainnya.
Proses regestrasi pun
selesai dan anak saya pun kemudian berbaur dengan teman-teman barunya.
Di Gedung Medinah anak saya berbaur tidur satu ruangan dengan 29 para
calon santriwati (pelajar perempuan) dari berbagai penjuru tanah air. Beberapa di antaranya
berasal dari Malaysia, Singapura dan Thailand. Jangan Anda
bayangkan mereka merebahkan badan di atas kasur (tilam) mewah atau spring bed.
Mereka tidur hanya beralaskan kasur lipat sederhana yang digelar di atas
lantai.
Setelah menyeka sisa-sisa
air mata di pelupik mata, kami meninggalkan putri kami yang berdiri
sambil melambaikan tangan. Jumat 25/5 saya dan istri mendaftarkan anak
kedua kami di Ponpes Modern Darussalam Putra 2 Gontor Ponorogo.
Prosesnya pendaftaran tidak jauh beda dengan yang berlangsung di Ponpes
Putri. Setelah registrasi kami ajak anak kedua kami menuju Gedung
Palestina, asrama tempatnya tinggal selama menanti masa tes (ujian) seleksi.
Seperti halnya di Pondok Putri, malam hari kami pun menerima pembekalan
dari pimpinan pondok tentang tata tertib dan kehidupan yang akan
ditempuh oleh para calon santri.
“Ikhlaskan putra Bapak
dan Ibu kami didik di sini,” ujar pimpinan pondok. “Kami jaga amanah
ini dengan sepenuh hati agar mereka menjadi insan yang berguna bagi
bangsa, negara, dan agama yang dianutnya.”Setengah bercanda ustaz yang
tampak kharismatik itu menyampaikan bahwa menu sehari-hari santri di
Gontor tak pernah lepas dari sajian “sate”, yakni sayur tewel (nangka muda), sayur tempe, dan sayur telo (ketela)
Malam itu anak saya mulai
mengatur irama hidupnya sesuai jadwal yang ditetapkan Pondok. Dini hari
ia bangun lalu melaksanakan shalat tahajjud dilanjutkan shalat subuh
berjamaah di masjid Pondok yang besar tersebut. Ia mulai belajar mandiri
memenuhi segala keperluannya mulai dari mencuci pakaian sampai dengan
membereskan tempat tidur dan membersihkan lingkungan di sekitar Pondok.
Dia yang biasa sulit
dibangunkan manakala waktu sekolah tiba, pagi itu tampak bergegas menuju
ruangan kelasnya. Dengan setelan hem putih dan pantalon warna gelap,
sepatu pantopel, serta peci hitam di kepalanya ia tampak tekun mengikuti
pelajaran pertamanya.
Bangga dan sedih
bercampur aduk melihat aktivitasnya pagi itu. Naluri orang tua yang
selalu ingin berdekatan dengan sang anak benar-benar diuji. Mulai malam
nanti, pikir saya, tak akan ada lagi kesempatan mengusap kepalanya saat
dia tidur pulas (nyenyak).
Perpisahan dengan anak
lelaki kedua kami sudah tidak bisa dielakkan lagi. Saya bisikkan di
telinganya bahwa cinta kasih kepadanya jauh melebihi segala-galanya.
Semoga kelak linangan air mata ini bisa bertukar dengan senyuman bangga
akan keberhasilan dirinya. Bila kelak ia menjadi seorang tentara,
polisi, menteri, presiden, bahkan menjadi seorang politisi sekalipun,
semoga dirinya bisa benar-benar menjaga amanah. Semoga kelak dirinya
bisa menjadi solusi bagi karut-marut yang sering melanda negeri ini.
Dan dari sanubari yang
paling dalam aku sampaikan padamu Gontor, kutitipkan anak-anakku demi
masa depannya yang gemilang, demi bangsa dan negara yang sangat
dicintainya.